(Dzulfikar
Rizki - Islamic University of Madinah, Saudi Arabia)
***
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن
يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka
tidak diuji lagi?” (Al-‘Ankabut:2)
Dalam mengarungi luasnya samudra kehidupan,
seseorang memang dituntut untuk mempunyai tujuan dan cita-cita. Mengumpulkan
dan menyatukan segala harapan yang ingin ditakhlukkan di masa depan. Kata demi
kata terangkai mulai disematkan di sebuah tinta emas sejarah perjuangannya.
Begitu juga dengan sebuah asa yang harus tetap dipupuk dan diuntaikan dalam
panjatan doa kepada Sang Maha Kuasa.
Menyelami setiap sisi kehidupan yang
akan dijalani memerlukan modal yang sangat banyak dan kuat untuk menghadapi apa
yang ada di hadapannya. Alunan dzikir yang tak boleh berhenti meskipun hanya
sekedar mengucap syukur Alhamdulillah kepada Ilaahi Robbi. Detak jantung yang
turut mengiringi langkah kaki kian mengencang ketika diri dihidangkan dengan
jurang permasalahan yang cukup mrnggores hati. Namun sebesar apapun ujian
menanti, tetaplah tegak menantang badai bagaikan karang dihempas ombak lautan.
Sebab ujian itu tidak lebih berarti dari mimpi yang telah kita gaungkan pada
semesta, telah kita mohonkan dalam doa, dan telah kita gumamkan semenjak kita
membayangkannya.
Menata mimpi memang tidaklah mudah,
apalagi untuk menggapainya. Silih berganti batu rintangan dan duri yang
menghadang ditengah perjalanan kerapkali muncul untuk menumbangkan. Setiap
pribadi pasti mempunyai cerita yang berbeda dan kisah nan pilu dalam menggapai
mimpinya. Layaknya setiap kaos yang setiap badan pasti memiliki ukurannya, bak
lebah yang indah pasti akan menemukan bunganya. Jadi untuk apa berpusing-pusing
dan bersusah-payah memikirkan apa yang dialami oleh orang lain? Mungkin perlu
untuk saling menguatkan, namun bukan untuk dibandingkan sehingga jiwa dan
hatimu kecil untuk melewati semua yang ada di hadapan.
Berbicara soal impian, pasti
tidaklah lepas dari kata proses. Tidak ada di dunia ini yang terjadi secara
instan, melainkan atas izin Allah Ta’ala. Bukankah sebuah peribahasa dalam Bahasa
Arab telah mengajarkan kita: Man
Jadda Wajada (Barang siapa yang
bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya)?
Maka dibutuhkan tekad yang kuat
dan jiwa yang tahan banting untuk mewujudkan semua impian kita. Seiring
berjalannya waktu, semakin dekat dengan impian, maka semakin banyak tenaga kita
yang akan terkuras.
Buih-buih
kesabaran harus selalu dirajut kembali untuk menemani setiap detik hidup yang
kita jalani. Agar tidak menimbulkan penyakit dalam pikiran dan hati, atau
bahkan hingga mengalami frustasi (wal’iyaadzu billah). Karena dalam
setiap ujian myang enghampiri, pastilah ada seputik hikmah yang akan
disampaikan oleh Ilahi Robbi.
Aku memang
bukanlah pujangga yang lihai bermain kata. Bukan pula seniman puisi yang setiap
kalimat dan intonasinya menyentuh hati. Tapi baiklah, akan kucoba untuk
menguraikan sekelumit kisah perjalan sedih senangku dalam mengarungi samudra
kehidupan untuk meraih mimpi. Maka tulisan ini aku persembahkan kepada
saudara-saudaraku yang tengah berdiri di ujung jurang permasalahan dan bingung
ke mana arah jalan yang seharusnya dituju. Semoga sebongkah kalimat ini mampu
menggenggam tangan yang kian rapuh tergontai-gontai. Hingga kita mampu berdiri di hadapan kerumunan ujian
dan kita lewati bersama dengan mengharap segala Ridho-Nya.
***
Lirih
gemercik air mengusik telinga para santri yang kian asik melantunkan ayat-ayat
suci Ilahi. Berpacu dengan lajunya kendaraan umum dan pribadi yang melintasi
jalan antar Kabupaten Bantul-Gunungkidul. Di sebuah desa kecil di pinggiran kota yang orang biasa
menyebutnya Yogyakarta. Tepatnya di Desa Tegalyoso kecamatan Piyungan Kabupaten
Bantul. Sebuah lokasi yang dihimpit oleh persawahan hingga
orang-orangpun menyebutnya “pondok mewah” alias mepet sawah.
Ibnul
Qoyyim, di sinilah aku mulai menapaki mimpi-mimpi dan menaiki anak tangga demi
anak tannga untuk sampai pada harapan-harapan yang nyata. 8 Mei 2016 menjadi
sebuah tanggal sakral yang layak untuk diabadikan. Bukan hanya hitam di atas
putih, namun akan selalu terbayang dan terkenang dalam jiwa-jiwa para pemenang.
Mereka yang telah berhasil melewati masa pendidikan pondok pesantren selama 4
atau 6 tahun akan diwisuda.
Kami
selaku santri akhir tahun yang pada saat itu hendak diwisuda oleh seorang Kiyai
yang arif lagi bijaksana, merasakan dua hal yang berbeda. Pada saat itulah
berkecamuknya perasaan bahagia dan sedih yang memecahkan hati. Bahagia dan
merasa bangga telah diwisuda dari pesantren, setelah banyak teman-teman kami
seperjuangan berguguran dengan alasan masing-masing. Sedih karena kami harus
berpisah dengan rekan-rekan yang senantiasa menemani dalam setiap sentuhan rutinitas di pesantren.
Pagi
hari menjelang dimulainya acara wisuda, kami saling mendandani satu sama lain.
Seperti pesantren pada umumnya, satu barang bisa dipakai untuk banyak orang.
Setrika yang mulai meluncur di atas kemeja-kemeja kami turut menambah
kepercayaan diri kami, bahwa kami siap untuk naik ke atas panggung. Sepatu yang
telah kami semir hitam pada malam harinya, begitu juga dengan jas hitam yang
telah kami siapkan, lengkap dengan dasi klimis membelah dada.
Sebanyak
28 santriwan yang akan mengucapkan “Ikrar Setia Santri” telah duduk manis di
depan panggung di belakang para guru dan Kiyai. Satu-persatu orang tua dari
masing-masing wisudawan dengan lirih berdatangan beriring salam dan senyuman
kebahagiaan. Mataku mulai menatap setiap siapa yang masuk melewati pintu gedung
acara. Naas, acara hampir dimulai namun tak kunjung jua kudapati sepasang
kekasih yang kunanti, ya... ayah dan ibuku. Aku mengintip dan mencuri-curi
pandangan untuk melihat siapa yang memarkirkan kendaraannya.
Aku
mencoba mengontrol perasaan dan pikiran untuk senantiasa ber-husnudzon
pada Allah bahwa orang tuaku pasti datang. Benar saja, mataku berbinar dan
siratan senyumpun aku sematkan kepada rekan samping kanan-kiriku melihat
kedatangan mereka. Alunan nasyid “senyuman yang tersirat di bibirmu, menjadi
ingatan setiap waktu” dari Brother mengiringi canda dan tawa kami sebelum
semua hilang dan hanya meninggalkan bekas.
Acara
yang kami tunggupun dimulai. Semua bersiap dan merapikan pakaian masing-masing,
mulai dari songkok nasional, kerah kemeja, sepatu, hingga jas kami yang harus nampak
sempurna di atas panggung. Instrument nada Kitaro telah dibunyikan. Satu demi
satu nama kami dipanggil untuk berjabat tangan dengan Kiyai serta menerima map
yang berisi “Ikrar Setia Santri”. Gemuruh pekikan takbir dari adek-adek kelas
kami menambah haru dan pecahnya suasana pada saat itu. Isak tangis para wisudawan
mulai terdengar ketika Kiyai kami mengalungkan medali wisuda kepada kami.
Jabatan tangannya masih terasa hingga saat ini. Seolah begitu yakin bahwa kami
harus memberi manfaat pada siapapun yang ada di sekitar kami.
Setelah
semua wisudawan menaiki panggung, Kiyai-pun memimpin prosesi pembacaan ikrar
kami sebagai alumni pesantren. Kami yang berada di atas panggung, tak
henti-hentinya menundukkan kepala dan sesekali kami mengusap air mata. Melihat
orang-orang yang telah berjerih payah membiayai kami di pesantren tersenyum
merekah bahagia menyaksikan kami menaiki panggung. Apalagi bagi kami yang
mendapatkan prestasi yang sangat baik akan menerima penghargaan dari pesantren.
Di antara rekanku, ada yang mampu menyelesaikan target hafalannya. Ada pula
yang menjadi santri teladan minim pelanggaran. Tak banyak yang dapat aku
persembahkan untuk orang tuaku. Namun tidak kusangka para asatidz memilihku
sebagai praktek mengajar (‘amaaliyah tadris) terbaik dengan berbahasa
Arab.
Acara
wisuda selesai dan ditutup dengan foto bersama keluarga pesantren dan
dilanjutkan dengan keluarga masing-masing. Tidak lupa hidangan makan siang yang
telah diseiapkan oleh para ustadzah siap membersamai bincang-bincang kami
dengan keluarga. Pada saat inilah aku bertanya-tanya dan merenungkan diri
hendak kemana aku akan berkelana mencari ilmu.
Aku
terngiang dan terinspirasi oleh sebuah film yang menggambarkan keindahan negeri
Kinanah. Mesir, melalui film “Ketika CInta Bertasbih” aku tertarik dan
berhasrat untuk mengunjunginya dan menjadi targetku untuk menimba ilmu. Banyak
orang bilang bahwa kenyataannya tidaklah semanis apa yang ada di film itu.
Namun tetap saja, di sana terdapat kampus tertua yang akan menggemblengku
menjadi seorang yang alim dalam ilmu agama.
Informasi
demi informasi aku dapatkan untuk bisa kuliah di Mesir. Tawaran untuk masuk ke
beberapa pesantren tahfidz juga sempat aku perhitungkan. Begitu juga dengan
rekanku yang mengajakku ke salah satu perguruan tinggi di daerah Bekasi. Tidak
henti-hentinya pula ustadz-ustadzah kami senantiasa memberikan informasi
mengenahi dunia perkuliahan dan beasiswa. Namun Kiyaiku sendiri menganjurkanku
untuk mengabdi terlebih dahulu di pesantren selama satu tahun.
Banyaknya
pilihan yang akhirnya membuatku merunduk bingung dan tidak mampu memilih mana
jalan yang seharusnya aku tempuh. Pada awal-awal setelah kelulusan aku mencoba
mendaftarkan diri di UNY melalui jalur SNMPTN. Namun Allah masih belum
mengizinkanku untuk kuliah di sana. Padahal aku sangat ingin untuk kuliah
jurusan olah raga di Universitas
tersebut. Sebagai ikhtiar seorang hamba untuk melanjutkan perkuliahan, aku-pun mendaftar di UIN Bandung melalui
SPAN-PTKIN.
Pada
saat memilih jurusan apa yang akan ku tempuh ketika kuliah di UIN Bandung, aku
merasa bingung dan tidak yakin dengan pilihanku sendiri. Alhasil aku
memilih jurusan secara tergesa-gesa dan
tanpa pertimbangan yang matang. Aku memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Padahal sama sekali aku tidak mempunyai bekal dan bakat untuk masuk jurusan
tersebut. Hanya bermodal pada hati yang berkata “aku belum bisa Bahasa Inggris,
mungkin aku bisa belajar lebih ketika kuliah di sana”. Alhamdulillah, ketika
pengumuman keluar aku dinyatakan lolos. Namun masih ada keraguan untuk merantau
ke Bandung dan menempuh pendidikan yang aku sendiri masih setengah-setengah
dalam menjalaninya. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengambil kesempatan
itu.
Semakin
mepet dengan ditutupnya pendaftaran kampus-kampus dalam maupun luar negeri,
semakin kencang pula orang tua memepetku agar segera menentukan kemana akan
melanjutkan pendidikan. Masih di tahun 2016, aku mulai mengumpulkan berkas
untuk mengikuti
seleksi study di Tmur
Tengah. Aku pun mulai bertanya-tanya pada
senior mengenai materi, strategi, dan kiat-kiat untuk bisa lolos ke Timur
Tengah. Ada beberapa negara yang ditawarkan. Diantaranya; Mesir, Sudan, Maroko,
dan Lebanon.
Setelah
berdiskusi dengan beberapa rekan dan senior, aku memutuskan untuk memilih Sudan.
Karena selain saingannya yang tidak sebanyak Mesir, aku yang minim informasi
masih beranggapan mungkin di Sudan juga tidak jauh berbeda dengan Mesir. Aku
juga menyesali ego yang terus bergumam yang penting keluar negeri. Beberapa
hari tes wawancara dan tes tulis dilaksanakan, muncullah daftar nama-nama yang
dinyatakan lolos. Sayang seribu sayang aku belum dipanggil juga oleh Allah
untuk belajar di luar negeri.
Ternyata
tidaklah mudah menentukan sebuah pilihan. Banyak pertimbangan yang harus
diperhatikan dan dipikirkan dengan matang. Belum lagi dengan tekanan dari orang
tua dan keluarga agar aku segera menentukan pilihan. Dengan keadaanku yang buta
akan perkuliahan kampus seolah membuatku frustasi dan enggan untuk memikirkan
kuliah.
Hingga
suatu ketika saudaraku yang juga telah lulus dari pondoknya mengajakku untuk
mencoba mendaftar ke Universitas Islam Madinah (UIM). Sama sekali tidak
terbayang olehku untuk bisa sampai ke sana. Berkas demi berkas kami kumpulkan
dengan segala perjuangan yang masing-masing memiliki cerita yang cukup menyayat
hati. Beberapa kejadian yang membuatku hampir berputus asa kerapkali menyapa.
Salah
satu berkas yang harus diupload pada web kampus UIM tersebut adalah
paspor. Aku termasuk orang yang mengalami kerumitan dalam membuatnya. Aku
mengira bahwa semua akan lancar sebagaimana orang lain membuat paspor. Namun
jauh dari kata sempurna, pada saat pengambilan foto, aku ditanya oleh petugas;
“mau buat apa dik?”. “buat daftar sekolah di Saudi pak” jawabku.
“oh... begitu, nanti ke ruangan yang sebelah sana dulu ya!” pungkasnya. Akupun
mulai curiga pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan jawabanku.
Di
dalam ruangan tersebut aku bertemu juga dengan seorang petugas Kantor Imigrasi.
Di sana aku mulai diintrogasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang seolah kami
tidak boleh untuk pergi ke Saudi. Alasannya karena banyak kasus dari TKI-TKI
yang tidak kunjung pulang. Akupun tidak bosan-bosannya menjelaskan bahwa kami
kesana untuk melanjutkan sekolah bukan
untuk kerja. Tidak disangka, petugaspun meminta kami untuk mencari surat rekomendasi
dari Kemenag. Pada saat itu juga kami segera bertolak ke kantor Kemenag yang
jaraknya lumayan jauh dari kantor Imigrasi. Butuh sekitar 20 menit untuk bisa
sampai ke sana. Di bawah teriknya matahari, aku yang tidak tahu apa-apa soal
pendaftaran ini terus saja bergumam “Ya Allah, harus kaya gini banget ya?”.
Bersyukur
aku mempunyai saudara yang senantiasa memberi semangat, tanpa lelah kami
berkeliling kota Jogja untuk melengkapi berkas-berkas kami. Begitu sampai di
kantor Kemenag, kami langsung saja mengatakan apa yang menjadi hajat kami. Sungguh
memang keindahan tidaklah mudah diraih,
untuk mendapatkan rekomendasi dari kemenag, haruslah membawa surat pengantar
dari pesantren. Pada saat itu hari sudah semakin terik, kami pun memutuskan
untuk menunda keesokan harinya. Sembari menuju jalan pulang, kami mampir ke
sebuah instansi penerjemah resmi untuk menerjemahkan dokumen-dokumen kami ke dalam Bahasa Arab.
“Barang
siapa hendak mencari permata haruslah menyelam ke dasar samudra”
Keesokan
harinya, dengan semangat yang menggebu-gebu dan harapan yang baru, setelah
surat pengantar dan rekomendasi dari kemenag kami dapatkan, segera saja kami
bawa ke kantor Imigrasi. Benar-benar perjalanan yang melelahkan hati dan jiwa,
bahkan raga-pun sempoyangan untuk memenuhi dan menjalani ini semua.
Satu-satunya yang membuatku terus bertahan dalam guncangan dan benturan
disetiap rintangan yang menghadang.
“Bahwa
Allah tidak akan meninggalkan hambaNYa dalam keadaan sulit. Meskipun demikian,
pasti ada hikmah yang telah Allah siapkan untuk hati kita. Jadi, tidak perlu
khawatir dengan kenyataan hidup yang akan menghampiri, jika kita tulus hati
mengharap Ridho Ilahi.”
Sedikit
cerita dari saudaraku yang sudah mempunyai rekan di Madinah, pengumuman
mahasiswa yang diterima di UIM paling tidak berjarak minimal satu tahun.
Sedangkann aku tidak boleh berhenti menimba ilmu dan terus diminta oleh orang
tua untuk segera melanjutkan kuliah.
Setelah
mencoba mendaftar di berbagai kampus di Jogja, dengan hasil akhir tidak
diterima, Kiyaiku memintaku untuk mengabdi saja di pesantren. Hal inipun
terdengar di telinga orang tuaku. Hingga akhirnya ibuku memberikan syarat, aku boleh mengabdi namun harus diiringi dengan kuliah. Hingga pada akhirnya
aku menemukan jalan yang aku pikir ini pantas dan aku akan nyaman di dalamnya. Memang, dalam menentukan pilihan pertimbangkan juga bahwa
hati kalian akan tersenyum dan bisa menikmati apa yang ada di dalamnya.
Masih
di tahun 2016, aku menempuh pendidikan setrata D2, yaitu di kampus Ma’had ‘Aly
bin Abi Tholib (AMCF) Yogyakarta. Ma’had ini mengajarkanku berbagai cabang ilmu
agama dan juga Bahasa Arab. Jam belajar dimulai pukul 13.00-17.30 WIB, oleh
karenanya aku bisa memafaatkan waktu pagi dan malamku untuk membantu kegiatan
di pesantren Ibnul Qoyyim.
Satu
tahun berlalu, hingga tahun ajaran baru pada 2017 menyapaku dengan berbagai
pertanyaan. “Hendak lanjut kuliah di mana lagi?” Tanya ibuku yang
mengetahui bahwa aku di ma’had mendapatkan kelas percepatan. sehingga aku mampu menyelesaikannya dalam
waktu satu tahun. “
Memang ibu selalu mengajarkanku
untuk tidak pernah puas dengan ilmu yang sudah didapatkan, segeralah untuk
mencari, mencari dan mencari.”
Di
tahun ajaran baru ini aku tetap berusaha untuk mewujudkan salah satu mimpiku. Aku
kembali mencoba mengikuti tes untuk ke luar negeri melalui Kemenag. Kali ini
pilihanku jatuh pada Mesir yang sudah lama aku memimpikannya. Dari sinilah akan
kuceritakan sedikit pengalaman yang menusuk dan merobek-robek hati.
Salah
satu materi tes untuk bisa lolos ke Mesir adalah dengan membaca beberapa
paragraf Bahasa Arab. Ketika seorang penguji menyodorkan kertas bertuliskan
Bahasa Arab itu, aku sudah yakin untuk bisa membacanya. Namun kenyataan tidak
selalu berdampingan dengan harapan. Ada beberapa kata yang menurtku itu asing
hingga membuatku kesulitan dalam membacanya, bahkan terbata-bata. Setelah
selesai aku membacanya, pengujipun berkata “ Sudah, mungkin ada Universitas
lain yang lebih baik nanti”. Seketika itu hatiku mengecil dan kepalaku
tertunduk meratapi perkataan yang diujarkan oleh penguji. Hancur
sehancur-hancurnya. Aku merasa bahwa harapanku melayang pergi menjauh dari
pelupuk mata. Mungkin karena sifat yakin dan sok-sokan-ku yang sampai kepada taraf sombong, hinga
meremehkan soal dan materi ujian.
Benar
saja, ketika pengumuman telah resmi di unggah di website, tidak sehurufpun
namaku tertera di sana. Badanku melemah, mataku mulai memerah berkaca-kaca.
Bahu yang tadinya tegap penuh doa, seketika itu melemas tertunduk menghadap ke
tanah. Aku bergumam habislah sudah kesempatanku untuk bisa kuliah di Mesir.
Karena kesempatan tes hanya diberikan dalam periode dua tahun setelah
kelulusan. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh penguji, ada kampus yang
lebih baik untuk aku tempati.
Bayang-bayang
pengumuman penerimaan mahasiswa UIM belum juga muncul di tahun 2017. Pikiranku
kalut dan hatiku kacau sekacaunya. Mendengar penuturan dari keluarga, baik ibu
maupun kakak-kakakku yang selalu mendesakku agar segera menentukan perkuliahan.
Dengan kondisiku yang sedikit gaptek dan tidak terlalu menggagas informasi,
membuatku semakin putus asa untuk mencarinya. Maklum saja, aku adalah anak salah
satu desa di Gunungkidul yang terlahir jauh dari perkotaan.
Saat
aku mengabdi di pesantren, aku bertanya-tanya pada senior tentang dunia
perkuliahan dan spesifikasi dari masing-masing jurusan. Pada akhirnya aku
mencoba dunia baru yang selama ini tidak pernah aku bayangkan. Aku mendaftar di
salah satu universitas swasta di Yogyakarta, yaitu UMY (Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta). Di sana aku mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Sontak
keluargaku dan orang-orang yang mendengar ceritaku terkejut mendengar aku masuk
jurusan tersebut.
Dengan
track record-ku
yang dominan pada keagamaan dan Bahasa Arab justru mengambil jurusan yang sama
sekali tidak disangka dan di luar nalar. Entahlah, pada saat itu aku tidak
memikirkan panjang lebar. Aku hanya ingin memenuhi keinginan orang tuaku untuk
kuliah. Soal kecocokan atau tidak aku hanya berbisik “udah bismillah jalani
aja dulu”. Syukurlah orang tuaku meridhoi dan aku banyak mengambil manfaat
ketika kuliah di sana. Namun aku tidak bisa aktif di berbagai organisasi.
Karena aku justru diamanahkan sebagai kesantrian pondok yang mengontrol
keberlangsungan kegiatan santri di pesantren. Jarak antara kampus dan pesantren
yang cukup jauh, juga membuatku berfikir lagi jika harus aktif di kampus.
Membutuhkan waktu setengah jam dengan mengendarai motor untuk bisa sampai ke
kampus.
Jujur
di pesantren inilah aku belajar banyak hal, kesabaran yang tidak sedikit dan
tidak ada ujungnya dalam menghadapi segala tekanan. Banyak problematika yang
harus diselesaikan dan cukup menguras tenaga. Bagaimana tidak, aku harus
menangani kasus-kasus pelanggaran santri. Belum lagi komentar-komentar negatif
dari wali santri yang kerap mendarat di handphoneku. Sementara tugas-tugas dari
kampus juga harus selesai pada deadline. Ditambah lagi dengan mempersiapkan
materi untuk mengajar para santri. Memang begitulah hidup, kita tidak akan
pernah memuaskan pandangan orang lain. Tapi kita mampu berusaha untuk memberikan
yang terbaik bagi mereka. Biarlah Allah nanti yang melihat hati dan ketulusan
kita dalam beramal sholih.
وَقُلِ اعْمَلُوا
فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى
عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون
Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
[At-Taubah : 105]
Begitu
indah kehidupan pesantren, seandainya
bisa,
aku ingin menjadi santri saja selamanya. Meskipun banyak kesulitan yang menghampiri serta lelah hati
dan raga yang tidak bosan-bosannya menyapa, aku merasa bahagia dengan semua
ini. Bahagia dengan segala unsur yang ada di pesantren. Karena kami para
pengasuh pesantren senantiasa dibekali keikhlasan oleh pendahulu-pendahulu kami.
Memantapkan hati dan dengan keyakinan yang penuh, bahwa Allah melihat jerih payah kita dalam I’laai
kalimatillah (menegakkan agama Allah).
Satu
tahun berlalu begitu saja, aku masih berkutat di kampus dan pesantren. Di tahun
2018 aku sudah tidak terlalu memikirkan tentang ambisiku kuliah di luar negeri.
Karena aku sudah mendapatkan kuliah di Jogja dan aku hanya diminta untuk
istiqomah melakukan yang terbaik. Hingga ketika bulan Romadhon hadir, aku mendengar kabar bahwa
akan ada pengumuman lagi dari Universitas Islam Madinah. Segera saja aku pergi
ke kantor pesantren dan membuka computer untuk melihat nama-nama yang di
terima.
Allahu
Akbar…, seketika itu aku sujud bersyukur
kepada Ilahi Robbi atas nikmat yang begitu besar. Aku melihat namaku tertera di
antara orang-orang hebat yang juga diberikan kesempatan untuk belajar di Kota Nabi.
Benar-benar di luar dugaaan aku bisa diterima di universitas yang disebut “al
jamiiatullatii laa taghiibu ‘anhas syams” (Kampus yang tidak pernah absen
dari panasnya matahari).
Seketika
itu aku berkabar kepada ibuku dengan mengucap banyak terima kasih kepadanya.
Karena ia yang senantiasa memberiku semangat agar pantang menyerah, bahkan ia turut mencari uang untuk aku terbang ke
Palembang menghadiri muqobalah (tes) yang diselenggarakan oleh UIM. Aku yakin bahwa ini
bukan atas usahaku semata, karena aku tidak bisa menjabwab beberapa pertanyaan
yang diajukan oleh Syeikh pada saat itu.
Namun
doa ibulah yang menggetarkan langitNya sehingga Allah mengabulkan doa ibu
yang terbisik di antara bentangan sajadah. Bermunajat di keheningan malam
dengan linangan airmata untuk kebahagiaan dan masa depan putra-putrinya.
Terimakasih ibu….
Segala
berkas segera aku kumpulkan dan aku bawa ke Jakarta untuk diurus oleh sebuah
kepanitiaan. Ada satu peristiwa lagi yang mengguris hati. Yaitu ketika aku
harus memperbarui SKCK (surat keterangan kekelakuan baik) dari kepolisian. Saat
matahari masih terik-teriknya, aku berangkat ke Polres Gunungkudul untuk
memperbarui SKCK. Sayang sekali pada siang bolong itu, kantor telah ditutup karena banyaknya warga yang mempunyai
keperluan yang sama.
Keesokan
harinya aku berangkat ke kantor polisi sebelum sholat subuh. Karena jika
terlalu siang akan mendapatkan urutan akhir atau bahkan tidak mendapan antrean
lagi. Di pagi buta yang masih gelap nan sunyi, aku tarik urat gas perlahan motorku
menuju Polres. Syukurnya aku berangkat lebih awal, itu saja aku mendapat nomer
antrean ke delapan.
Setelah
sholat subuh, aku kembali duduk di kursi antrean untuk menunggu beroprasinya
kantor pengurusan SKCK tersebut.
Sekitar
Pukul 08.30 namaku dipanggil untuk masuk ke bilik petugas kepolisian. Di situ
aku di tanya seorang polwan yang sedang
bertugas,
“mau melanjutkan sekolah di mana dik?” aku menjawab dengan polosnya “ke
luar negeri bu”. Sang polwan-pun
meminta agar aku mencari SKCK ke Polda DIY.
Menurut
pemahamanku, kampus tidak mensyaratkan
untuk mencari SKCK hingga tingkat provinsi. Aku pun bersikeras mengatakan bahwa
dengan memakai SKCK dari Polres sudah cukup untuk memenuhi persyaratan kampus.
Setelah lama berdebat, seorang polisi paruh baya dari arah belakang menegurku
dan memaksaku untuk menerima keputusan. Bahwa untuk ke luar negeri harus sampai
tingkat provinsi. Akhirnya akupun mengalah dan membuat surat keterangan mulai
dari noll lagi. Mencari surat ke ketua RT, ketua RW, ke kelurahan, kemudian di bawa ke Polsek,
lalu ke Polres lagi untuk mendapatkan rekomendasi yang akan kubawa ke Polda
DIY.
Di
hari yang terik dan dalam kondisi tenggorokan yang kering, aku berlomba dan
saling berperang melawan ego dan emosiku yang mulai tidak terkontrol saat
mencari surat-surat tersebut. Banyak kejadian pilu yang tidak aku sebutkan di
sini. Ya… aku sudah hampir menyerah dan putus asa menjalaninya. Tapi aku
kembali teringat bahwa selangkah lagi aku akan sampai di Kota Nabi.
Akhirnya aku relakan badanku terhempas untuk berkendara dengan jarak yang cukup
jauh dan melelahkan. Butuh waktu satu jam tiga puluh menit untuk sampai ke Polda
DIY. Belum lagi aku harus cek kesehatan untuk memastikan bahwa aku benar-benar
sehat dan dinyatakan mampu melanjutkan study di Saudi.
Begitu
indah Allah merencanakan segala skenarionya untuk menghujani jiwa-jiwa yang
tandus nan gersang. Hati yang buta dan mata yang rabun untuk melihat dan
menemukan hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dalam setiap kejadian. Mungkin karena diri terlalu jauh
dariNYa (Asataghfirullah...).
Hingga
aku bergumam dalam hatiku “kalo bukan dengan ujian, dari mana kita mendapatkan
pahala kesabaran?”. Sekaligus ini sebagai medan pembuktian, sejauh mana usahamu untuk meraih
kenikmatan yang akan Allah berikan.? sekuat apa hati dan mentalmu untuk
mewujudkan impian?
Tidak
pernah aku merasakan kenyamanan dan ketenangan hati setelah semua ini kulalui.
Segala luapan emosi yang berujung pada kesia-siaan telah mengajariku untuk
lebih bijaksana dan sabar dalam melewatinya.
4
September 2018, aku berangkat dari Jakarta menuju Madinah. Keluargaku hanya
mengantarkanku sampai ke desa nenekku, Wonogiri. Karena aku berangkat bersama
saudaraku yang tinggal
bersebelahan dengan rumah nenenkku. Syukur Alhamdulillah, ia juga
diterima menjadi mahasiswa UIM.
Isak
tangis ibu, bapak, dan kakak-kakaku, serta semua keluarga mengiringi
kepergianku. Kupeluk ibu dengan erat dan berat hati meninggalkannya. Dengan
sesenggukan ibu tetap mengusap air mata yang membasahi pipiku. Dengan lirih ia
berkata “hati-hati ya nak ya… jaga dirimu baik-baik. Maaf ibu hanya bisa
memberikanmu doa”. Seketika itu semakin pecah dan hatiku hancur mendengar pesan
ibu. Tak ingin ku lepaskan genggamannya. Mataku tak berani menatapnya karena
aku tak sanggup untuk melihat wajah yang begitu indah dan teduh itubersedih. Aku berpamitan pula dengan kakakku
yang lima hari kemudian melaksanakan pernikahan. Kakakku yang paling sering
menemaniku ketika sedang banyak masalah ketika di pesantren. Karena dia juga
mengabdikan dirinya di pesantren yang sama, hanya saja dia di sektor
putri yang berjarak sekitar satu kilo meter dari pesantrenku. Selama mempersiapkan
pernikahannya-pun
aku turut membantu dengan mencarikan jas bagi calon suaminya, bahkan aku yang
mencoba memakainya. Benar-benar hari yang begitu berat untuk meninggalkan
orang-orang yang kusayangi.
Setelah
sampai di Kampus UIM, aku justru banyak termenung dan berusaha menghibur diri
dengan berbagai cara. Tidak seindah yang aku bayangkan dalam proses perkuliahan.
Memang segala sudut kota yang diberkahi ini menyejukkan mata dan hati. Namun
harus aku akui, bahwa aku hanyalah manusia yang lemah dan memiliki masa-masa futur
(putus asa).
Aku
sebagai orang yang awam tentang perkuliahan di luar negeri, tidak memiliki
kakak kelas ataupun senior, ditambah lagi dengan kurangnya informasi yang aku
dapati, aku merasa sendirian dalam
berjuang di sini. Mataku mengembang
dan berkaca, melirik rekan-rekanku yang begitu senang dan nyaman tinggal di
sini. Ketika memiliki kesulitan dan membutuhkan bantuan, atau konsultasi
masalah perkuliahan, mereka bisa curhat dan mengadu kepada kakak-kakak kelas
atau senior mereka untuk memberikan solusi. Tidak jarang juga mereka saling
berbagi canda dan tawa dalam suasana yang hangat. Sementara aku hanya bisa
termenung dan bergumam dalam hati “Yaa Allah… Engkau Maha Kuat, maka kuatkanlah Hati
hambaMu”
Sungguh
sangat banyak dan bahkan menumpuk segala keluhan dan kesulitan yang kualami
selama perkuliahan ingin aku
ungkapkan. Mulai dari pelajaran di kampus, kesulitan dalam
mencerna untaian kalam Ulama,
hingga curahan-curahan hati yang tidak sanggup lagi aku tahan. Aku hanya mampu
berdoa semoga adik-adik kelasku segera menyusulku dan menemaniku di sini.
Aammiin…
Namun
di sini aku belajar, bahwa kita tidak boleh menyalahkan keadaan. Teringat
sebuah nasehat dari salah satu ustadz pesantrenku “don’t blame the situation
you are in, but create the batter one”. Jika memang tidak ada yang memelukmu dan menjadi
penghangat hatimu, peluklah mereka. Genggam meraka dalam dekapan ukhuwah. Maka
kita akan menemukan birunya cinta dalam menjalin persaudaraan dengan kawan
seiman dan seperjuangan. Allah tidak akan pernah meninggalkan hambaNya selagi
ia mau berusaha dan ikhlas menjalaninya.
Setiap
langkah yang akan mengukir sejarah dalam menapaki impian, janganlah lupa untuk
senantiasa melibatkan Allah. Sekecil apapun urusan yang sedang kita kerjakan,
tidak lepas dari kehendak Allah. Maka dengan untaian doa di setiap sujud dan
heningnya malam, semoga Allah menjawab apa yang kita harapkan dan permohonkan.
Tidak
lupa seseorang yang harus menjadi prioritas, agar hidup kita menjadi lebih
tenang dan mendapatkan barokah. Seseorang yang telah bersikeras membesarkan
kita, merawat, mendidik, bahkan menyediakan sarana terbaik untuk masa depan
kita. Ialah ibu dengan segala keridhoannya untuk bertekad menjadikan kita
sebagai manusia yang berakhlak kepada Allah dan kepada makhlukNya. Ibu.
Masih
banyak kisah yang ingin kuuraikan di secarik kertas putih suci ini. Bukan untuk
saling berbangga diri atau mencari sensasi, namun inilah nikmatnya berbagi dan
saling bergegenggam tangan dalam mewujudkan mimpi. Bahu-membahu dan menguatkan
tegaknya kaki untuk menahan
terpaan ujian yang silih berganti.
Dalam
kesempatan yang lain, akan kusempurnakan apa yang telah aku goreskan di
lembaran-lembaran ini. Bagi pembaca yang berkenan untuk berbagi dan ingin
menyimak kembali kisah-kisah perjalanku dalam meniti cita-cita dan cinta, atas
izin Allah akan kutuangkan kembali tinta-tinta yang mengalir darinya hikmah kehidupan
yang telah Allah titipkan.
Profil Penulis
Dzulfikar
Rizki, seonggok manusia yang pernah mengalami masa-masa sulit dan hampir jatuh
pada jurang keputus asaan. Hingga terbayang berada di dasar lautan dan tidak
mampu untuk sampai ke permukaan. Berjuang untuk menemukan hikmah dan pelajaran
di setiap sendi-sendi kehidupan. Meskipun begitu, penulis tidak ingin bangun
dari keterpurukan seorang diri. Maka aku bertekad untuk sebisa mungkin memberi
manfaat dan saling berbagi satu sama lain. Lahir di sudut Kabupaten Gunungkidul
23 tahun yang lalu dengan kearifan lokal yang masih mewariskan budaya baiknya.
Untuk bisa berkomunikasi dengan penulis bisa menghubungi melalui (Fb: Dzulfikar Rizki), atau (gmail:
dzulfikarrizki22@gmail.com).
Link pendaftaraan Islamic University Madinah : https://admission.iu.edu.sa/Defaulten.aspx