Perpustakaan Ibnul Qoyyim Putra

Perpustakaan Ibnul Qoyyim Putra
Logo Perpustakaan

Perpustakaan

Surganya para pecinta buku, tempat menambah wawasan, membuka jendela dunia, tempat berbagi pengalaman, dan tempat having fun.

Dengan blog ini, kami mencoba berbagi pengetahuan dan pengalaman-pengalaman menarik yang kami alami di perpustakaan.

So, read it and find it out!! :D

Jumat, 13 November 2020

Kamu ngga sendirian ko... (Menggapai Kuliah di Madinah)

(Dzulfikar Rizki - Islamic University of Madinah, Saudi Arabia)

***

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-‘Ankabut:2)

             Dalam mengarungi luasnya samudra kehidupan, seseorang memang dituntut untuk mempunyai tujuan dan cita-cita. Mengumpulkan dan menyatukan segala harapan yang ingin ditakhlukkan di masa depan. Kata demi kata terangkai mulai disematkan di sebuah tinta emas sejarah perjuangannya. Begitu juga dengan sebuah asa yang harus tetap dipupuk dan diuntaikan dalam panjatan doa kepada Sang Maha Kuasa.

            Menyelami setiap sisi kehidupan yang akan dijalani memerlukan modal yang sangat banyak dan kuat untuk menghadapi apa yang ada di hadapannya. Alunan dzikir yang tak boleh berhenti meskipun hanya sekedar mengucap syukur Alhamdulillah kepada Ilaahi Robbi. Detak jantung yang turut mengiringi langkah kaki kian mengencang ketika diri dihidangkan dengan jurang permasalahan yang cukup mrnggores hati. Namun sebesar apapun ujian menanti, tetaplah tegak menantang badai bagaikan karang dihempas ombak lautan. Sebab ujian itu tidak lebih berarti dari mimpi yang telah kita gaungkan pada semesta, telah kita mohonkan dalam doa, dan telah kita gumamkan semenjak kita membayangkannya.

            Menata mimpi memang tidaklah mudah, apalagi untuk menggapainya. Silih berganti batu rintangan dan duri yang menghadang ditengah perjalanan kerapkali muncul untuk menumbangkan. Setiap pribadi pasti mempunyai cerita yang berbeda dan kisah nan pilu dalam menggapai mimpinya. Layaknya setiap kaos yang setiap badan pasti memiliki ukurannya, bak lebah yang indah pasti akan menemukan bunganya. Jadi untuk apa berpusing-pusing dan bersusah-payah memikirkan apa yang dialami oleh orang lain? Mungkin perlu untuk saling menguatkan, namun bukan untuk dibandingkan sehingga jiwa dan hatimu kecil untuk melewati semua yang ada di hadapan.

            Berbicara soal impian, pasti tidaklah lepas dari kata proses. Tidak ada di dunia ini yang terjadi secara instan, melainkan atas izin Allah Ta’ala. Bukankah sebuah peribahasa dalam Bahasa Arab telah mengajarkan kita: Man Jadda Wajada (Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya)?

Maka dibutuhkan tekad yang kuat dan jiwa yang tahan banting untuk mewujudkan semua impian kita. Seiring berjalannya waktu, semakin dekat dengan impian, maka semakin banyak tenaga kita yang akan terkuras.

            Buih-buih kesabaran harus selalu dirajut kembali untuk menemani setiap detik hidup yang kita jalani. Agar tidak menimbulkan penyakit dalam pikiran dan hati, atau bahkan hingga mengalami frustasi (wal’iyaadzu billah). Karena dalam setiap ujian myang enghampiri, pastilah ada seputik hikmah yang akan disampaikan oleh Ilahi Robbi.

            Aku memang bukanlah pujangga yang lihai bermain kata. Bukan pula seniman puisi yang setiap kalimat dan intonasinya menyentuh hati. Tapi baiklah, akan kucoba untuk menguraikan sekelumit kisah perjalan sedih senangku dalam mengarungi samudra kehidupan untuk meraih mimpi. Maka tulisan ini aku persembahkan kepada saudara-saudaraku yang tengah berdiri di ujung jurang permasalahan dan bingung ke mana arah jalan yang seharusnya dituju. Semoga sebongkah kalimat ini mampu menggenggam tangan yang kian rapuh tergontai-gontai. Hingga kita mampu berdiri di hadapan kerumunan ujian dan kita lewati bersama dengan mengharap segala Ridho-Nya.

***

Lirih gemercik air mengusik telinga para santri yang kian asik melantunkan ayat-ayat suci Ilahi. Berpacu dengan lajunya kendaraan umum dan pribadi yang melintasi jalan antar Kabupaten Bantul-Gunungkidul. Di sebuah desa kecil di pinggiran kota yang orang biasa menyebutnya Yogyakarta. Tepatnya di Desa Tegalyoso kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul. Sebuah lokasi yang dihimpit oleh persawahan hingga orang-orangpun menyebutnya “pondok mewah” alias mepet sawah.

Ibnul Qoyyim, di sinilah aku mulai menapaki mimpi-mimpi dan menaiki anak tangga demi anak tannga untuk sampai pada harapan-harapan yang nyata. 8 Mei 2016 menjadi sebuah tanggal sakral yang layak untuk diabadikan. Bukan hanya hitam di atas putih, namun akan selalu terbayang dan terkenang dalam jiwa-jiwa para pemenang. Mereka yang telah berhasil melewati masa pendidikan pondok pesantren selama 4 atau 6 tahun akan diwisuda.

Kami selaku santri akhir tahun yang pada saat itu hendak diwisuda oleh seorang Kiyai yang arif lagi bijaksana, merasakan dua hal yang berbeda. Pada saat itulah berkecamuknya perasaan bahagia dan sedih yang memecahkan hati. Bahagia dan merasa bangga telah diwisuda dari pesantren, setelah banyak teman-teman kami seperjuangan berguguran dengan alasan masing-masing. Sedih karena kami harus berpisah dengan rekan-rekan yang senantiasa menemani dalam setiap sentuhan rutinitas di pesantren.

Pagi hari menjelang dimulainya acara wisuda, kami saling mendandani satu sama lain. Seperti pesantren pada umumnya, satu barang bisa dipakai untuk banyak orang. Setrika yang mulai meluncur di atas kemeja-kemeja kami turut menambah kepercayaan diri kami, bahwa kami siap untuk naik ke atas panggung. Sepatu yang telah kami semir hitam pada malam harinya, begitu juga dengan jas hitam yang telah kami siapkan, lengkap dengan dasi klimis membelah dada.

Sebanyak 28 santriwan yang akan mengucapkan “Ikrar Setia Santri” telah duduk manis di depan panggung di belakang para guru dan Kiyai. Satu-persatu orang tua dari masing-masing wisudawan dengan lirih berdatangan beriring salam dan senyuman kebahagiaan. Mataku mulai menatap setiap siapa yang masuk melewati pintu gedung acara. Naas, acara hampir dimulai namun tak kunjung jua kudapati sepasang kekasih yang kunanti, ya... ayah dan ibuku. Aku mengintip dan mencuri-curi pandangan untuk melihat siapa yang memarkirkan kendaraannya.

Aku mencoba mengontrol perasaan dan pikiran untuk senantiasa ber-husnudzon pada Allah bahwa orang tuaku pasti datang. Benar saja, mataku berbinar dan siratan senyumpun aku sematkan kepada rekan samping kanan-kiriku melihat kedatangan mereka. Alunan nasyid “senyuman yang tersirat di bibirmu, menjadi ingatan setiap waktu” dari Brother mengiringi canda dan tawa kami sebelum semua hilang dan hanya meninggalkan bekas.

Acara yang kami tunggupun dimulai. Semua bersiap dan merapikan pakaian masing-masing, mulai dari songkok nasional, kerah kemeja, sepatu, hingga jas kami yang harus nampak sempurna di atas panggung. Instrument nada Kitaro telah dibunyikan. Satu demi satu nama kami dipanggil untuk berjabat tangan dengan Kiyai serta menerima map yang berisi “Ikrar Setia Santri”. Gemuruh pekikan takbir dari adek-adek kelas kami menambah haru dan pecahnya suasana pada saat itu. Isak tangis para wisudawan mulai terdengar ketika Kiyai kami mengalungkan medali wisuda kepada kami. Jabatan tangannya masih terasa hingga saat ini. Seolah begitu yakin bahwa kami harus memberi manfaat pada siapapun yang ada di sekitar kami.

Setelah semua wisudawan menaiki panggung, Kiyai-pun memimpin prosesi pembacaan ikrar kami sebagai alumni pesantren. Kami yang berada di atas panggung, tak henti-hentinya menundukkan kepala dan sesekali kami mengusap air mata. Melihat orang-orang yang telah berjerih payah membiayai kami di pesantren tersenyum merekah bahagia menyaksikan kami menaiki panggung. Apalagi bagi kami yang mendapatkan prestasi yang sangat baik akan menerima penghargaan dari pesantren. Di antara rekanku, ada yang mampu menyelesaikan target hafalannya. Ada pula yang menjadi santri teladan minim pelanggaran. Tak banyak yang dapat aku persembahkan untuk orang tuaku. Namun tidak kusangka para asatidz memilihku sebagai praktek mengajar (‘amaaliyah tadris) terbaik dengan berbahasa Arab.

Acara wisuda selesai dan ditutup dengan foto bersama keluarga pesantren dan dilanjutkan dengan keluarga masing-masing. Tidak lupa hidangan makan siang yang telah diseiapkan oleh para ustadzah siap membersamai bincang-bincang kami dengan keluarga. Pada saat inilah aku bertanya-tanya dan merenungkan diri hendak kemana aku akan berkelana mencari ilmu.

Aku terngiang dan terinspirasi oleh sebuah film yang menggambarkan keindahan negeri Kinanah. Mesir, melalui film “Ketika CInta Bertasbih” aku tertarik dan berhasrat untuk mengunjunginya dan menjadi targetku untuk menimba ilmu. Banyak orang bilang bahwa kenyataannya tidaklah semanis apa yang ada di film itu. Namun tetap saja, di sana terdapat kampus tertua yang akan menggemblengku menjadi seorang yang alim dalam ilmu agama.

Informasi demi informasi aku dapatkan untuk bisa kuliah di Mesir. Tawaran untuk masuk ke beberapa pesantren tahfidz juga sempat aku perhitungkan. Begitu juga dengan rekanku yang mengajakku ke salah satu perguruan tinggi di daerah Bekasi. Tidak henti-hentinya pula ustadz-ustadzah kami senantiasa memberikan informasi mengenahi dunia perkuliahan dan beasiswa. Namun Kiyaiku sendiri menganjurkanku untuk mengabdi terlebih dahulu di pesantren selama satu tahun.

Banyaknya pilihan yang akhirnya membuatku merunduk bingung dan tidak mampu memilih mana jalan yang seharusnya aku tempuh. Pada awal-awal setelah kelulusan aku mencoba mendaftarkan diri di UNY melalui jalur SNMPTN. Namun Allah masih belum mengizinkanku untuk kuliah di sana. Padahal aku sangat ingin untuk kuliah jurusan olah raga di Universitas tersebut. Sebagai ikhtiar seorang hamba untuk melanjutkan perkuliahan, aku-pun mendaftar di UIN Bandung melalui SPAN-PTKIN.

Pada saat memilih jurusan apa yang akan ku tempuh ketika kuliah di UIN Bandung, aku merasa bingung dan tidak yakin dengan pilihanku sendiri. Alhasil aku memilih  jurusan secara tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang matang. Aku memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Padahal sama sekali aku tidak mempunyai bekal dan bakat untuk masuk jurusan tersebut. Hanya bermodal pada hati yang berkata “aku belum bisa Bahasa Inggris, mungkin aku bisa belajar lebih ketika kuliah di sana”. Alhamdulillah, ketika pengumuman keluar aku dinyatakan lolos. Namun masih ada keraguan untuk merantau ke Bandung dan menempuh pendidikan yang aku sendiri masih setengah-setengah dalam menjalaninya. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengambil kesempatan itu.

Semakin mepet dengan ditutupnya pendaftaran kampus-kampus dalam maupun luar negeri, semakin kencang pula orang tua memepetku agar segera menentukan kemana akan melanjutkan pendidikan. Masih di tahun 2016, aku mulai mengumpulkan berkas untuk mengikuti seleksi study di Tmur Tengah. Aku pun mulai bertanya-tanya pada senior mengenai materi, strategi, dan kiat-kiat untuk bisa lolos ke Timur Tengah. Ada beberapa negara yang ditawarkan. Diantaranya; Mesir, Sudan, Maroko, dan Lebanon.

Setelah berdiskusi dengan beberapa rekan dan senior, aku memutuskan untuk memilih Sudan. Karena selain saingannya yang tidak sebanyak Mesir, aku yang minim informasi masih beranggapan mungkin di Sudan juga tidak jauh berbeda dengan Mesir. Aku juga menyesali ego yang terus bergumam yang penting keluar negeri. Beberapa hari tes wawancara dan tes tulis dilaksanakan, muncullah daftar nama-nama yang dinyatakan lolos. Sayang seribu sayang aku belum dipanggil juga oleh Allah untuk belajar di luar negeri.

Ternyata tidaklah mudah menentukan sebuah pilihan. Banyak pertimbangan yang harus diperhatikan dan dipikirkan dengan matang. Belum lagi dengan tekanan dari orang tua dan keluarga agar aku segera menentukan pilihan. Dengan keadaanku yang buta akan perkuliahan kampus seolah membuatku frustasi dan enggan untuk memikirkan kuliah.

Hingga suatu ketika saudaraku yang juga telah lulus dari pondoknya mengajakku untuk mencoba mendaftar ke Universitas Islam Madinah (UIM). Sama sekali tidak terbayang olehku untuk bisa sampai ke sana. Berkas demi berkas kami kumpulkan dengan segala perjuangan yang masing-masing memiliki cerita yang cukup menyayat hati. Beberapa kejadian yang membuatku hampir berputus asa kerapkali menyapa.

Salah satu berkas yang harus diupload pada web kampus UIM tersebut adalah paspor. Aku termasuk orang yang mengalami kerumitan dalam membuatnya. Aku mengira bahwa semua akan lancar sebagaimana orang lain membuat paspor. Namun jauh dari kata sempurna, pada saat pengambilan foto, aku ditanya oleh petugas; “mau buat apa dik?”. “buat daftar sekolah di Saudi pak” jawabku. “oh... begitu, nanti ke ruangan yang sebelah sana dulu ya!” pungkasnya. Akupun mulai curiga pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan jawabanku.

Di dalam ruangan tersebut aku bertemu juga dengan seorang petugas Kantor Imigrasi. Di sana aku mulai diintrogasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang seolah kami tidak boleh untuk pergi ke Saudi. Alasannya karena banyak kasus dari TKI-TKI yang tidak kunjung pulang. Akupun tidak bosan-bosannya menjelaskan bahwa kami kesana untuk melanjutkan sekolah  bukan untuk kerja. Tidak disangka, petugaspun meminta kami untuk mencari surat rekomendasi dari Kemenag. Pada saat itu juga kami segera bertolak ke kantor Kemenag yang jaraknya lumayan jauh dari kantor Imigrasi. Butuh sekitar 20 menit untuk bisa sampai ke sana. Di bawah teriknya matahari, aku yang tidak tahu apa-apa soal pendaftaran ini terus saja bergumam “Ya Allah, harus kaya gini banget ya?”.

Bersyukur aku mempunyai saudara yang senantiasa memberi semangat, tanpa lelah kami berkeliling kota Jogja untuk melengkapi berkas-berkas kami. Begitu sampai di kantor Kemenag, kami langsung saja mengatakan apa yang menjadi hajat kami. Sungguh memang keindahan tidaklah mudah diraih, untuk mendapatkan rekomendasi dari kemenag, haruslah membawa surat pengantar dari pesantren. Pada saat itu hari sudah semakin terik, kami pun memutuskan untuk menunda keesokan harinya. Sembari menuju jalan pulang, kami mampir ke sebuah instansi penerjemah resmi untuk menerjemahkan dokumen-dokumen kami ke dalam Bahasa Arab.

Barang siapa hendak mencari permata haruslah menyelam ke dasar samudra

Keesokan harinya, dengan semangat yang menggebu-gebu dan harapan yang baru, setelah surat pengantar dan rekomendasi dari kemenag kami dapatkan, segera saja kami bawa ke kantor Imigrasi. Benar-benar perjalanan yang melelahkan hati dan jiwa, bahkan raga-pun sempoyangan untuk memenuhi dan menjalani ini semua. Satu-satunya yang membuatku terus bertahan dalam guncangan dan benturan disetiap rintangan yang menghadang.

Bahwa Allah tidak akan meninggalkan hambaNYa dalam keadaan sulit. Meskipun demikian, pasti ada hikmah yang telah Allah siapkan untuk hati kita. Jadi, tidak perlu khawatir dengan kenyataan hidup yang akan menghampiri, jika kita tulus hati mengharap Ridho Ilahi.

Sedikit cerita dari saudaraku yang sudah mempunyai rekan di Madinah, pengumuman mahasiswa yang diterima di UIM paling tidak berjarak minimal satu tahun. Sedangkann aku tidak boleh berhenti menimba ilmu dan terus diminta oleh orang tua untuk segera melanjutkan kuliah.

Setelah mencoba mendaftar di berbagai kampus di Jogja, dengan hasil akhir tidak diterima, Kiyaiku memintaku untuk mengabdi saja di pesantren. Hal inipun terdengar di telinga orang tuaku. Hingga akhirnya ibuku memberikan syarat, aku boleh mengabdi namun harus diiringi dengan kuliah. Hingga pada akhirnya aku menemukan jalan yang aku pikir ini pantas dan aku akan nyaman di dalamnya. Memang, dalam menentukan pilihan pertimbangkan juga bahwa hati kalian akan tersenyum dan bisa menikmati apa yang ada di dalamnya.

Masih di tahun 2016, aku menempuh pendidikan setrata D2, yaitu di kampus Ma’had ‘Aly bin Abi Tholib (AMCF) Yogyakarta. Ma’had ini mengajarkanku berbagai cabang ilmu agama dan juga Bahasa Arab. Jam belajar dimulai pukul 13.00-17.30 WIB, oleh karenanya aku bisa memafaatkan waktu pagi dan malamku untuk membantu kegiatan di pesantren Ibnul Qoyyim.

Satu tahun berlalu, hingga tahun ajaran baru pada 2017 menyapaku dengan berbagai pertanyaan. “Hendak lanjut kuliah di mana lagi?” Tanya ibuku yang mengetahui bahwa aku di ma’had mendapatkan kelas percepatan. sehingga aku mampu menyelesaikannya dalam waktu satu tahun.

Memang ibu selalu mengajarkanku untuk tidak pernah puas dengan ilmu yang sudah didapatkan, segeralah untuk mencari, mencari dan mencari.”

Di tahun ajaran baru ini aku tetap berusaha untuk mewujudkan salah satu mimpiku. Aku kembali mencoba mengikuti tes untuk ke luar negeri melalui Kemenag. Kali ini pilihanku jatuh pada Mesir yang sudah lama aku memimpikannya. Dari sinilah akan kuceritakan sedikit pengalaman yang menusuk dan merobek-robek hati.

Salah satu materi tes untuk bisa lolos ke Mesir adalah dengan membaca beberapa paragraf Bahasa Arab. Ketika seorang penguji menyodorkan kertas bertuliskan Bahasa Arab itu, aku sudah yakin untuk bisa membacanya. Namun kenyataan tidak selalu berdampingan dengan harapan. Ada beberapa kata yang menurtku itu asing hingga membuatku kesulitan dalam membacanya, bahkan terbata-bata. Setelah selesai aku membacanya, pengujipun berkata “ Sudah, mungkin ada Universitas lain yang lebih baik nanti”. Seketika itu hatiku mengecil dan kepalaku tertunduk meratapi perkataan yang diujarkan oleh penguji. Hancur sehancur-hancurnya. Aku merasa bahwa harapanku melayang pergi menjauh dari pelupuk mata. Mungkin karena sifat yakin dan sok-sokan-ku yang sampai kepada taraf sombong, hinga meremehkan soal dan materi ujian.

Benar saja, ketika pengumuman telah resmi di unggah di website, tidak sehurufpun namaku tertera di sana. Badanku melemah, mataku mulai memerah berkaca-kaca. Bahu yang tadinya tegap penuh doa, seketika itu melemas tertunduk menghadap ke tanah. Aku bergumam habislah sudah kesempatanku untuk bisa kuliah di Mesir. Karena kesempatan tes hanya diberikan dalam periode dua tahun setelah kelulusan. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh penguji, ada kampus yang lebih baik untuk aku tempati.

Bayang-bayang pengumuman penerimaan mahasiswa UIM belum juga muncul di tahun 2017. Pikiranku kalut dan hatiku kacau sekacaunya. Mendengar penuturan dari keluarga, baik ibu maupun kakak-kakakku yang selalu mendesakku agar segera menentukan perkuliahan. Dengan kondisiku yang sedikit gaptek dan tidak terlalu menggagas informasi, membuatku semakin putus asa untuk mencarinya. Maklum saja, aku adalah anak salah satu desa di Gunungkidul yang terlahir jauh dari perkotaan.

Saat aku mengabdi di pesantren, aku bertanya-tanya pada senior tentang dunia perkuliahan dan spesifikasi dari masing-masing jurusan. Pada akhirnya aku mencoba dunia baru yang selama ini tidak pernah aku bayangkan. Aku mendaftar di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, yaitu UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). Di sana aku mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Sontak keluargaku dan orang-orang yang mendengar ceritaku terkejut mendengar aku masuk jurusan tersebut.

Dengan track record-ku yang dominan pada keagamaan dan Bahasa Arab justru mengambil jurusan yang sama sekali tidak disangka dan di luar nalar. Entahlah, pada saat itu aku tidak memikirkan panjang lebar. Aku hanya ingin memenuhi keinginan orang tuaku untuk kuliah. Soal kecocokan atau tidak aku hanya berbisik “udah bismillah jalani aja dulu”. Syukurlah orang tuaku meridhoi dan aku banyak mengambil manfaat ketika kuliah di sana. Namun aku tidak bisa aktif di berbagai organisasi. Karena aku justru diamanahkan sebagai kesantrian pondok yang mengontrol keberlangsungan kegiatan santri di pesantren. Jarak antara kampus dan pesantren yang cukup jauh, juga membuatku berfikir lagi jika harus aktif di kampus. Membutuhkan waktu setengah jam dengan mengendarai motor untuk bisa sampai ke kampus.

Jujur di pesantren inilah aku belajar banyak hal, kesabaran yang tidak sedikit dan tidak ada ujungnya dalam menghadapi segala tekanan. Banyak problematika yang harus diselesaikan dan cukup menguras tenaga. Bagaimana tidak, aku harus menangani kasus-kasus pelanggaran santri. Belum lagi komentar-komentar negatif dari wali santri yang kerap mendarat di handphoneku. Sementara tugas-tugas dari kampus juga harus selesai pada deadline. Ditambah lagi dengan mempersiapkan materi untuk mengajar para santri. Memang begitulah hidup, kita tidak akan pernah memuaskan pandangan orang lain. Tapi kita mampu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi mereka. Biarlah Allah nanti yang melihat hati dan ketulusan kita dalam beramal sholih.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. [At-Taubah : 105]

Begitu indah kehidupan pesantren, seandainya bisa, aku ingin menjadi santri saja selamanya. Meskipun banyak kesulitan yang menghampiri serta lelah hati dan raga yang tidak bosan-bosannya menyapa, aku merasa bahagia dengan semua ini. Bahagia dengan segala unsur yang ada di pesantren. Karena kami para pengasuh pesantren senantiasa dibekali keikhlasan oleh pendahulu-pendahulu kami. Memantapkan hati dan dengan keyakinan yang penuh, bahwa Allah melihat jerih payah kita dalam I’laai kalimatillah (menegakkan agama Allah).

Satu tahun berlalu begitu saja, aku masih berkutat di kampus dan pesantren. Di tahun 2018 aku sudah tidak terlalu memikirkan tentang ambisiku kuliah di luar negeri. Karena aku sudah mendapatkan kuliah di Jogja dan aku hanya diminta untuk istiqomah melakukan yang terbaik. Hingga ketika bulan Romadhon hadir, aku mendengar kabar bahwa akan ada pengumuman lagi dari Universitas Islam Madinah. Segera saja aku pergi ke kantor pesantren dan membuka computer untuk melihat nama-nama yang di terima.

Allahu Akbar…, seketika itu aku sujud bersyukur kepada Ilahi Robbi atas nikmat yang begitu besar. Aku melihat namaku tertera di antara orang-orang hebat yang juga diberikan kesempatan untuk belajar di Kota Nabi. Benar-benar di luar dugaaan aku bisa diterima di universitas yang disebut “al jamiiatullatii laa taghiibu ‘anhas syams” (Kampus yang tidak pernah absen dari panasnya matahari).

Seketika itu aku berkabar kepada ibuku dengan mengucap banyak terima kasih kepadanya. Karena ia yang senantiasa memberiku semangat agar pantang menyerah, bahkan ia turut mencari uang untuk aku terbang ke Palembang menghadiri muqobalah (tes) yang diselenggarakan oleh UIM. Aku yakin bahwa ini bukan atas usahaku semata, karena aku tidak bisa menjabwab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Syeikh pada saat itu.

Namun doa ibulah yang menggetarkan langitNya sehingga Allah mengabulkan doa ibu yang terbisik di antara bentangan sajadah. Bermunajat di keheningan malam dengan linangan airmata untuk kebahagiaan dan masa depan putra-putrinya. Terimakasih ibu….

Segala berkas segera aku kumpulkan dan aku bawa ke Jakarta untuk diurus oleh sebuah kepanitiaan. Ada satu peristiwa lagi yang mengguris hati. Yaitu ketika aku harus memperbarui SKCK (surat keterangan kekelakuan baik) dari kepolisian. Saat matahari masih terik-teriknya, aku berangkat ke Polres Gunungkudul untuk memperbarui SKCK. Sayang sekali pada siang bolong itu, kantor telah ditutup karena banyaknya warga yang mempunyai keperluan yang sama.

Keesokan harinya aku berangkat ke kantor polisi sebelum sholat subuh. Karena jika terlalu siang akan mendapatkan urutan akhir atau bahkan tidak mendapan antrean lagi. Di pagi buta yang masih gelap nan sunyi, aku tarik urat gas perlahan motorku menuju Polres. Syukurnya aku berangkat lebih awal, itu saja aku mendapat nomer antrean ke delapan.

Setelah sholat subuh, aku kembali duduk di kursi antrean untuk menunggu beroprasinya kantor pengurusan SKCK tersebut. Sekitar Pukul 08.30 namaku dipanggil untuk masuk ke bilik petugas kepolisian. Di situ aku di tanya seorang polwan yang sedang bertugas, “mau melanjutkan sekolah di mana dik?” aku menjawab dengan polosnya “ke luar negeri bu”. Sang polwan-pun meminta agar aku mencari SKCK ke Polda DIY.

Menurut pemahamanku, kampus tidak mensyaratkan untuk mencari SKCK hingga tingkat provinsi. Aku pun bersikeras mengatakan bahwa dengan memakai SKCK dari Polres sudah cukup untuk memenuhi persyaratan kampus. Setelah lama berdebat, seorang polisi paruh baya dari arah belakang menegurku dan memaksaku untuk menerima keputusan. Bahwa untuk ke luar negeri harus sampai tingkat provinsi. Akhirnya akupun mengalah dan membuat surat keterangan mulai dari noll lagi. Mencari surat ke ketua RT, ketua RW, ke kelurahan, kemudian di bawa ke Polsek, lalu ke Polres lagi untuk mendapatkan rekomendasi yang akan kubawa ke Polda DIY.

Di hari yang terik dan dalam kondisi tenggorokan yang kering, aku berlomba dan saling berperang melawan ego dan emosiku yang mulai tidak terkontrol saat mencari surat-surat tersebut. Banyak kejadian pilu yang tidak aku sebutkan di sini. Ya… aku sudah hampir menyerah dan putus asa menjalaninya. Tapi aku kembali teringat bahwa selangkah lagi aku akan sampai di Kota Nabi. Akhirnya aku relakan badanku terhempas untuk berkendara dengan jarak yang cukup jauh dan melelahkan. Butuh waktu satu jam tiga puluh menit untuk sampai ke Polda DIY. Belum lagi aku harus cek kesehatan untuk memastikan bahwa aku benar-benar sehat dan dinyatakan mampu melanjutkan study di Saudi.

Begitu indah Allah merencanakan segala skenarionya untuk menghujani jiwa-jiwa yang tandus nan gersang. Hati yang buta dan mata yang rabun untuk melihat dan menemukan hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dalam setiap kejadian. Mungkin karena diri terlalu jauh dariNYa (Asataghfirullah...).

Hingga aku bergumam dalam hatiku “kalo bukan dengan ujian, dari mana kita mendapatkan pahala kesabaran?”. Sekaligus ini sebagai medan pembuktian, sejauh mana usahamu untuk meraih kenikmatan yang akan Allah berikan.? sekuat apa hati dan mentalmu untuk mewujudkan impian?

Tidak pernah aku merasakan kenyamanan dan ketenangan hati setelah semua ini kulalui. Segala luapan emosi yang berujung pada kesia-siaan telah mengajariku untuk lebih bijaksana dan sabar dalam melewatinya.

4 September 2018, aku berangkat dari Jakarta menuju Madinah. Keluargaku hanya mengantarkanku sampai ke desa nenekku, Wonogiri. Karena aku berangkat bersama saudaraku yang tinggal bersebelahan dengan rumah nenenkku. Syukur Alhamdulillah, ia juga diterima menjadi mahasiswa UIM.

Isak tangis ibu, bapak, dan kakak-kakaku, serta semua keluarga mengiringi kepergianku. Kupeluk ibu dengan erat dan berat hati meninggalkannya. Dengan sesenggukan ibu tetap mengusap air mata yang membasahi pipiku. Dengan lirih ia berkata “hati-hati ya nak ya… jaga dirimu baik-baik. Maaf ibu hanya bisa memberikanmu doa”. Seketika itu semakin pecah dan hatiku hancur mendengar pesan ibu. Tak ingin ku lepaskan genggamannya. Mataku tak berani menatapnya karena aku tak sanggup untuk melihat wajah yang begitu indah dan teduh itubersedih. Aku berpamitan pula dengan kakakku yang lima hari kemudian melaksanakan pernikahan. Kakakku yang paling sering menemaniku ketika sedang banyak masalah ketika di pesantren. Karena dia juga mengabdikan dirinya di pesantren yang sama, hanya saja dia di sektor putri yang berjarak sekitar satu kilo meter dari pesantrenku. Selama mempersiapkan pernikahannya-pun aku turut membantu dengan mencarikan jas bagi calon suaminya, bahkan aku yang mencoba memakainya. Benar-benar hari yang begitu berat untuk meninggalkan orang-orang yang kusayangi.

Setelah sampai di Kampus UIM, aku justru banyak termenung dan berusaha menghibur diri dengan berbagai cara. Tidak seindah yang aku bayangkan dalam proses perkuliahan. Memang segala sudut kota yang diberkahi ini menyejukkan mata dan hati. Namun harus aku akui, bahwa aku hanyalah manusia yang lemah dan memiliki masa-masa futur (putus asa).

Aku sebagai orang yang awam tentang perkuliahan di luar negeri, tidak memiliki kakak kelas ataupun senior, ditambah lagi dengan kurangnya informasi yang aku dapati, aku merasa  sendirian dalam berjuang di sini. Mataku mengembang dan berkaca, melirik rekan-rekanku yang begitu senang dan nyaman tinggal di sini. Ketika memiliki kesulitan dan membutuhkan bantuan, atau konsultasi masalah perkuliahan, mereka bisa curhat dan mengadu kepada kakak-kakak kelas atau senior mereka untuk memberikan solusi. Tidak jarang juga mereka saling berbagi canda dan tawa dalam suasana yang hangat. Sementara aku hanya bisa termenung dan bergumam dalam hati “Yaa Allah… Engkau Maha Kuat, maka kuatkanlah Hati hambaMu”

Sungguh sangat banyak dan bahkan menumpuk segala keluhan dan kesulitan yang kualami selama perkuliahan ingin aku ungkapkan. Mulai dari pelajaran di kampus, kesulitan dalam mencerna untaian kalam Ulama, hingga curahan-curahan hati yang tidak sanggup lagi aku tahan. Aku hanya mampu berdoa semoga adik-adik kelasku segera menyusulku dan menemaniku di sini. Aammiin…

Namun di sini aku belajar, bahwa kita tidak boleh menyalahkan keadaan. Teringat sebuah nasehat dari salah satu ustadz pesantrenku “don’t blame the situation you are in, but create the batter one”. Jika  memang tidak ada yang memelukmu dan menjadi penghangat hatimu, peluklah mereka. Genggam meraka dalam dekapan ukhuwah. Maka kita akan menemukan birunya cinta dalam menjalin persaudaraan dengan kawan seiman dan seperjuangan. Allah tidak akan pernah meninggalkan hambaNya selagi ia mau berusaha dan ikhlas menjalaninya.

Setiap langkah yang akan mengukir sejarah dalam menapaki impian, janganlah lupa untuk senantiasa melibatkan Allah. Sekecil apapun urusan yang sedang kita kerjakan, tidak lepas dari kehendak Allah. Maka dengan untaian doa di setiap sujud dan heningnya malam, semoga Allah menjawab apa yang kita harapkan dan permohonkan.

Tidak lupa seseorang yang harus menjadi prioritas, agar hidup kita menjadi lebih tenang dan mendapatkan barokah. Seseorang yang telah bersikeras membesarkan kita, merawat, mendidik, bahkan menyediakan sarana terbaik untuk masa depan kita. Ialah ibu dengan segala keridhoannya untuk bertekad menjadikan kita sebagai manusia yang berakhlak kepada Allah dan kepada makhlukNya. Ibu.

Masih banyak kisah yang ingin kuuraikan di secarik kertas putih suci ini. Bukan untuk saling berbangga diri atau mencari sensasi, namun inilah nikmatnya berbagi dan saling bergegenggam tangan dalam mewujudkan mimpi. Bahu-membahu dan menguatkan tegaknya kaki untuk menahan terpaan ujian yang silih berganti.

Dalam kesempatan yang lain, akan kusempurnakan apa yang telah aku goreskan di lembaran-lembaran ini. Bagi pembaca yang berkenan untuk berbagi dan ingin menyimak kembali kisah-kisah perjalanku dalam meniti cita-cita dan cinta, atas izin Allah akan kutuangkan kembali tinta-tinta yang mengalir darinya hikmah kehidupan yang telah Allah titipkan.

 

Profil Penulis

            Dzulfikar Rizki, seonggok manusia yang pernah mengalami masa-masa sulit dan hampir jatuh pada jurang keputus asaan. Hingga terbayang berada di dasar lautan dan tidak mampu untuk sampai ke permukaan. Berjuang untuk menemukan hikmah dan pelajaran di setiap sendi-sendi kehidupan. Meskipun begitu, penulis tidak ingin bangun dari keterpurukan seorang diri. Maka aku bertekad untuk sebisa mungkin memberi manfaat dan saling berbagi satu sama lain. Lahir di sudut Kabupaten Gunungkidul 23 tahun yang lalu dengan kearifan lokal yang masih mewariskan budaya baiknya. Untuk bisa berkomunikasi dengan penulis bisa menghubungi melalui (Fb: Dzulfikar Rizki), atau (gmail: dzulfikarrizki22@gmail.com).

Link pendaftaraan Islamic University Madinah : https://admission.iu.edu.sa/Defaulten.aspx

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar