Perpustakaan Ibnul Qoyyim Putra

Perpustakaan Ibnul Qoyyim Putra
Logo Perpustakaan

Perpustakaan

Surganya para pecinta buku, tempat menambah wawasan, membuka jendela dunia, tempat berbagi pengalaman, dan tempat having fun.

Dengan blog ini, kami mencoba berbagi pengetahuan dan pengalaman-pengalaman menarik yang kami alami di perpustakaan.

So, read it and find it out!! :D

Jumat, 11 Mei 2012

Jama' dan Qoshar dalam sholat


FATHUL KUTUB
KAPAN DILAKSANAKAN JAMA’ DAN QOSHAR
 DI WAKTU SHALAT







Disusun oleh               : Nurroqim indrasumarno
NIS                              : 206.106







A.    PENDAHULUAN

            Shalat adalah kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan, kecuali dengan alasan yang jelas. Bahkan dalam keadaan sesulit apapun jikalau itu memungkinkan untuk shalat maka hukumnya wajib untuk dilaksanakan, contohnya pada saat kita sakit ataupun sedang berpergian, namun Allah Subhanahu Wata’ala telah memberikan kita keringanan (Ruhsah) dalam menunaikan shalat yaitu dengan men-Jama’ dan meng-Qoshar shalat kita, itu semua adalah sebagai bukti bahwa Allah maha pemurah. Namun yang patut disayangkan adalah banyak orang muslim pada zaman ini yang belum begitu memahami tatacara, arti, dan kapan dilaksanakan jama’ dan qoshar di waktu shalat, bahkan adapula yang enggan melaksanakan jama’ atapun qoshar, dikarenakan  kurang mantab atau bahkan takut jikalau shalat mereka tidak sah, makadari itu pada tahab selanjutnya kita akan lebih mengulas lebih dalam tentang shalat jama’ dan qoshar

B.     PENGERTIAN

             Shalat jama’ maksudnya melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur yang dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’.
Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.

Shalat Qashar di dalam kitab Minhajul Muslim adalah menjadikan shalat empat raka’at sebagai dua raka’at dengan Al-Fatihah dan surat. Adapun shalat magrib dan shalat subuh, tidak diqashar, karena shalat magrib terdiri dari tiga raka’at dan shalat subuh terdiri dari du raka’at.

C.    PEMBAHASAN

            Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah , sebagaimana firman-Nya, ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS.Annisa; 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah yang disuruh oleh Rasulullah untuk menerimanya, (HR.Muslim).
            Di dalam kitab Bulughul Maram, Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah suka bila Rukhshoh (keringanan)-Nya dilaksanakan sebagaimana Dia benci bila maksiat-Nya dilaksanakan.”(Riwayat Ahmad. Hadit shahih menurut Ibnu Khudzaimah dan Ibnu Hibban. Dalam suatu riwayat : “Sebagaimana Dia suka bila perintah-perintah-Nya yang keras dilakukan.”)  
Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah  menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama’ berikut beberapa hadist yang terdapat di dalam kitab Bulughul Maram.
Anas berkata: “Adalah Rasulullah bila keluar berpergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau shalat dua raka’at (Riwayat Muslim)
Ibnu Abbas berkata: “Nabi  menetap selama 19 hari, beliau mengqashar shalat” dalam lafadz hadis lain: “Di makkah selama 19 hari” (Riwayat Bukhari. Dan dalam suatu riwayat menurut Abu Dawud: Tujuh belas hari.)
Menurut riwayat Bukhari dari Imran Ibnu Hushoin :”Delapan belas hari.”
Menurutnya pula dari Jabir: “Beliau menetap di Tabuk 20 hari mengqashar sholat. Para perawinya dapat dipercaya tapi diperselisihkan maushul-nya.
Dalam suatu hadist riwayat Hakim dalam kitab Al-Arba’in dengansanad shahih: “Beliau shalat dzuhur dan Ashar kemudian naik kendaraan.” Dalam riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Mustakhroj Muslim: “Bila beliau dalam perjalanan dan matahari telah tergelincir beliau shalat Dzuhur dan Ashar dengan jama’, kemudian berangkat.”

D.    KESIMPULAN

Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullahmesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).

 musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR.Bukhari Muslim).

Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).

Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah ( langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut-turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah .

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.

Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasulullahselalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.

Wallahu a’lam bis Shawaab

E.     REFERENSI

Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani
Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazair
Al-Qur’an Surat Annisa; 101

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar