FATHUL
KUTUB
KAPAN
DILAKSANAKAN JAMA’ DAN QOSHAR
DI WAKTU SHALAT
Disusun oleh :
Nurroqim indrasumarno
NIS : 206.106
A. PENDAHULUAN
Shalat adalah kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan,
kecuali dengan alasan yang jelas. Bahkan dalam keadaan sesulit apapun jikalau
itu memungkinkan untuk shalat maka hukumnya wajib untuk dilaksanakan, contohnya
pada saat kita sakit ataupun sedang berpergian, namun Allah Subhanahu Wata’ala
telah memberikan kita keringanan (Ruhsah) dalam menunaikan shalat yaitu dengan
men-Jama’ dan meng-Qoshar shalat kita, itu semua adalah sebagai bukti bahwa
Allah maha pemurah. Namun yang patut disayangkan adalah banyak orang muslim
pada zaman ini yang belum begitu memahami tatacara, arti, dan kapan
dilaksanakan jama’ dan qoshar di waktu shalat, bahkan adapula yang enggan
melaksanakan jama’ atapun qoshar, dikarenakan
kurang mantab atau bahkan takut jikalau shalat mereka tidak sah, makadari
itu pada tahab selanjutnya kita akan lebih mengulas lebih dalam tentang shalat
jama’ dan qoshar
B. PENGERTIAN
Shalat jama’ maksudnya melaksanakan dua
shalat wajib dalam satu waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar
di waktu Dzuhur yang dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan
Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di
waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’.
Jadi shalat yang
boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh
harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau
shalat Dhuhur.
Shalat Qashar di dalam kitab Minhajul Muslim adalah menjadikan shalat empat raka’at sebagai
dua raka’at dengan Al-Fatihah
dan surat. Adapun shalat magrib dan shalat subuh, tidak diqashar, karena shalat
magrib terdiri dari tiga raka’at dan shalat subuh terdiri dari du raka’at.
C. PEMBAHASAN
Shalat jama’
dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah , sebagaimana firman-Nya, ”Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar
shalatmu, (QS.Annisa; 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari
Allah yang disuruh oleh Rasulullah untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Di dalam kitab Bulughul Maram, Dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya Allah suka bila Rukhshoh (keringanan)-Nya dilaksanakan
sebagaimana Dia benci bila maksiat-Nya dilaksanakan.”(Riwayat Ahmad. Hadit shahih menurut Ibnu Khudzaimah dan Ibnu Hibban.
Dalam suatu riwayat : “Sebagaimana Dia suka bila perintah-perintah-Nya yang
keras dilakukan.”)
Shalat Jama’
lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan
oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan
saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang
sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim
untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’
shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, bahwasanya Rasulullah menjama’ shalat Dhuhur
dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim
menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.
Imam Nawawi
dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini
mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak
musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak
menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga
dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir,
berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas,
“Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan
alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Adapun batas
jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama’ berikut beberapa hadist yang terdapat di
dalam kitab Bulughul Maram.
Anas
berkata: “Adalah Rasulullah
bila keluar berpergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau shalat dua raka’at (Riwayat Muslim)
Ibnu Abbas
berkata: “Nabi menetap selama 19 hari, beliau mengqashar
shalat” dalam lafadz hadis lain: “Di makkah selama 19 hari” (Riwayat Bukhari. Dan dalam suatu riwayat
menurut Abu Dawud: Tujuh belas hari.)
Menurut
riwayat Bukhari dari Imran Ibnu Hushoin :”Delapan belas hari.”
Menurutnya
pula dari Jabir: “Beliau menetap di Tabuk 20 hari mengqashar sholat. Para
perawinya dapat dipercaya tapi diperselisihkan maushul-nya.
Dalam suatu
hadist riwayat Hakim dalam kitab Al-Arba’in dengansanad shahih: “Beliau shalat
dzuhur dan Ashar kemudian naik kendaraan.” Dalam riwayat Abu Nu’aim dalam kitab
Mustakhroj Muslim: “Bila beliau dalam perjalanan dan matahari telah tergelincir
beliau shalat Dzuhur dan Ashar dengan jama’, kemudian berangkat.”
D. KESIMPULAN
Adapun batas
jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan
Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak
ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia
boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang
pasti, Rasulullahmesti menjelaskannya
kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).
musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat
jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat
tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan
mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan
Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah
di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir
Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR.Bukhari Muslim).
Seorang yang
menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu
juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak
menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat
Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang
musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari
Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya
dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di
Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya
ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Tabuk.
Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat,
karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.
Menurut Jumhur
(mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih
dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya
empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah ketika haji Wada’.
Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar
shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau
belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan
mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa
yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal
sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari
beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan
kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian
jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya
(Fiqhussunah I/241).
Bagi orang yang
melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua
setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti
Muwalah ( langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada
waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah
selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian
dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara
berturut-turut
lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah .
Seorang musafir
boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia
boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam
yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam
(tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar
shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan sunah bagi
musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan
sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasulullahselalu melakukannya
baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah
yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan
shalat janazah.
Wallahu a’lam bis Shawaab
E. REFERENSI
Bulughul
Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani
Minhajul
Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazair
Al-Qur’an Surat Annisa;
101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar