Nama :
Imam Muhammad Khomeini
Kelas :
VI IPA
Judul : Status
Anak Diluar Nikah Menurut Hukum Waris
PONDOK
PESANTREN IBNUL QOYYIM PUTRA
YOGYAKARTA
2012
Pendahuluan
Perzinaan merupakan kasus yang banyak
terjadi di tengah masyarakat.Tidak lain karena faktor keteledoran manusia
melakukan pelanggaran rambu-rambu agama. Yang mana persoalan
ini kemudian melebar dengan lahirnya anak-anak akibat perzinahan yang dilarang
agama, nasab, waris, dan sebagainya.
Perbuatan zina merupakan kejahatan moral terhadap
anak. Perbuatan zina juga menyebabkan munculnya seorang anak yang miskin kasih
sayang yang bisa mengikatnya. Selain merupakan kejahatan terhadap anak yang
dilahirkan, zina juga memaksa anak tersebut hidup hina dalam masyarakat dan
membuatnya merasa terpojok dari setiap sudut. Perasaan seperti ini muncul sebab
pada umumnya masyarakat meremehkan anak zina, nurani mereka mengingkarinya, dan
mereka tidak memandangnya dari segi kemasyarakatan sebagai pelajaran.
Perbuatan zina itu sendiri adalah dosa yang sangat
besar dan sangat keji, serta seburuk-buruk jalan yang ditempuh oleh seseorang;
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan
janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah
(perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang).
[al Israa`/17 : 32].
Yang menjadi persoalan, jika zina telah terjadi,
kemudian lahirlah anak akibat perbuatan tersebut, bagaimanakah status
kehamilan, pernikahan pezina dan bagaimana pula nasab dan waris anak
yang dikandungnya?
Pembahasan
Hamil di luar nikah dan masalah nasab anak. Dalam
fasal ini ada beberapa kejadian yang masing-masing berbeda hukumnya, yaitu:
1. Apabila
seorang perempuan berzina kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah
anak zina dengan kesepakatan para ulama.
Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan tidak
dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (bapak zinanya). Tegasnya,
hubungan nasab antara anak dengan bapaknya terputus. Demikian juga dengan hukum
waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya.
Demikian juga hak kewalian –kalau seorang anak perempuan- terputus dengan
bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya adalah sultan (penguasa) atau wakilnya
seperti qadhi (penghulu). Dan tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah kepada
anak yang lahir dari hasil zina . Akan tetapi, hubungan sebagai mahram tetap
ada tidak terputus meskipun hubungan nasab, waris, kewalian, nafkah terputus.
Karena, biar bagaimanapun juga anak itu adalah anaknya, yang tercipta dari air
maninya walaupun dari hasil zina. Oleh karena itu haram baginya menikahi anak
perempuannya dari hasil zina sama haramnya dengan anak perempuannya yang lahir
dari pernikahan yang shahih.
Anak yang
terlahir dikarenakan hasil perzinahan tidaklah menjadi ahli waris dari harta
ayahnya meskipun ibunya menikah saat mengandung anak itu, berdasarkan hadits
Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Ibnu Lahi’ah dari Amr
bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila
seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita merdeka atau budak wanita maka
anaknya adalah anak zina yang tidak mewarisi dan tidak diwarisi.” Abu Isa
mengatakan bahwa para ulama selain Ibnu Lahi’ah juga meriwayatkan hadits ini
dari ‘Amr bin Syu’aib. Para ahli ilmu mengamalkan hadits ini dengan berpendapat
bahwa anak zina tidaklah mewarisi harta ayahnya.
Dari
perkataan Ibnul Malak yang menyebutkan bahwa anak (zina) itu tidaklah mewarisi
laki-laki yang menzinahi (ibunya, pen) dan tidak juga mewarisi suadara-saudara
kerabatnya karena pewarisan adalah berdasarkan nasab sedangkan anak itu
tidaklah memiliki hubungan nasab dengan laki-laki yang berzina tersebut. Begitu
juga dengan laki-laki yang berzina dan saudara-saudara kerabatnya tidaklah
mewarisi harta anak zina itu.
Anak itu
hanya mewarisi harta ibunya saja dan begitu sebaliknya ibunya mewarisi harta
anak tersebut karena nasab anak tersebut disandarkan kepada ibunya bukan kepada
laki-laki yang menzinahi ibunya.
Tidak ada
hubungan saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil zina. Karena
sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bapak biologis bukan bapaknya. Memaksakan
diri untuk meminta warisan, statusnya merampas harta yang bukan haknya. Bahkan
hal ini telah ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis, di antaranya:
Abdullah
bin Amr bin Ash mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemberi
keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki,
atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan
tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib
Al-Arnauth).
Jika bapak
biologis ingin memberikan bagian hartanya kepada anak biologisnya, ini bisa
dilakukan melalu wasiat. Si Bapak bisa menuliskan wasiat, bahwa si A (anak
biologisnya) diberi jatah sekian dari total hartanya setelah si Bapak
meninggal. Karena wasiat boleh diberikan kepada selain ahli waris.
2. Apabila
seorang istri berzina –baik diketahui suaminya atau tidak- kemudian
dia hamil, maka anak yang dilahirkannya itu dinasabkan kepada suaminya, bukan
kepada laki-laki yang menzinai dan menghamilinya dengan kesepakatan para ulama
berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
‘’Anak itu
haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak
mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)’’. [Hadits shahih riwayat
Bukhari (no. 6749) dan Muslim (4/171) dari jalan Aisyah dalam hadits yang
panjang. Dan Bukhari (no. 6750 dan 6818) dan Muslim (4/171) juga mengeluarkan
dari jalan Abu Hurairah dengan ringkas seperti lafazh diatas].
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas ialah bahwa anak itu milik suami yang sah meskipun lahir dari hasil zina
istrinya dengan orang (laki-laki) lain. Tetap anak itu menjadi miliknya dan
dinasabkan kepadanya. Sedangkan bagi laki-laki yang menzinai istrinya tidak
mempunyai hak apapun terhadap anak tersebut.
Kejadian di atas di luar hukum li’aan* dan
perbedaannya ialah : kalau hukum li’aan suami menuduh istrinya berzina atau
menafikan anak yang dikandung istrinya di muka hakim sehingga dilaksanakan
sumpah li’aan. Dalam kasus li’aan ini, anak dinasabkan kepada istri baik
tuduhan suami itu benar atau bohong. Sedangkan pada kasus di atas, tidak
terjadi sumpah li’aan, meskipun suami mengetahui bahwa istrinya telah berzina
dengan laki-laki lain. Ini disebabkan suami tidak melaporkan tuduhannya ke muka
hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan sumpah li’aan.
Para ulama umumnya mengatakan bahwa bila pasangan yang
berzina lalu hamil, namun kemudian mereka menikah secara sah, maka hubungan
nasab antara anak dan ayahnya akan kembali tersambung.Anak itu sah sebagai anak
dengan mendapatkan semua hak-haknya. Dan ayah itu sah sebagai ayah dengan semua
hak dan kewajibannya.
Misalnya, ayah tetap bisa menjadi wali bagi anak
wanitanya, di dalam masalah pernikahannya. Demikian juga, anak berhak atas
harta warisan dari ayahnya, bila ayahnya itu meninggal dunia. Sebab hubungan
ayah-anak sah secara syar’i.
Sebaliknya, bila pasangan itu tidak pernah melakukan
pernikahan secara sah setelah perzinaan, para ulama mengatakan bahwa hubungan
ayah dan anak menjadi tidak sah. Hubungan nasab antara mereka tidak
tersambung kembali. Sehingga hal ini berpengaruh kepada hukum perwalian dan
warisan. Ayah itu tidak berhak jadi wali bagi anaknya. Dan anak itu tidak
berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Sebab secara hukum Islam, keduanya
dipandang sebagai bukan ayah dan anak.
Kesimpulan
1. Anak
hasil zina tidak bisa mewarisi ayahnya dan tidak bisa diwarisi ayahnya. Ia
hanya bisa mewarisi ibunya dan diwarisi ibunya.
2. pasangan
yang berzina lalu hamil, namun kemudian mereka menikah secara sah, maka
hubungan nasab antara anak dan ayahnya akan kembali tersambung.
3. Jika
bapak biologis ingin memberikan bagian hartanya kepada anak biologisnya, ini
bisa dilakukan melalu wasiat, karena wasiat boleh diberikan kepada selain ahli
waris.
Daftar
Pustaka
Al-Qur’an Al-Karim
Tuhfah al Ahwadzi ( juz V hal 393)
Al Mughni, Ibnu Qudamah (juz 9 hal 529-530
tahqiq Doktor Abdullah bin Abdul Muhsin At Turkiy).
Majmu
Fatawa, Ibnu Taymiyyah (jilid 32 hal. 134-142).
Majmu
Syarah Muhadzdzab (juz 15 hal. 109-113).
Al
Ankihatul Faasidah (hal. 75-79 Abdurrahman bin abdirrahman Sumailah Al Ahsal).
Minhajul
Muslim(hal.627 Abu Bakr Jabir Al-Jazairi)
Trimakasih........
BalasHapuswww.badrun9.blogspot.com
sama-sama mas
BalasHapus